Thursday 7 March 2013

Urban Syalala I

Urban Design, Urban Life

selalu berurusannya dengan Public Scope - space - transportation

Muali dari mana ya..
Secara sudah lama sekali tidak berkutat dengan dunia urban design

Diawali dengan ucapan Bismillah :)

Rasa syukur tiada henti,
Saya "Asty", yang senang sekali berkeliling survey (berkaitan dengan pekerjaan), melihat-lihat situasi daerah lain di Indonesia, mulai dari Riau, Pontianak, Singkawang, Balikpapan, Tanjung Redeb, Tanjung Batu, Kupang, dan kota-kota di Pulau Jawa, di beri kesempatan untuk mengicipi "daily life" di negeri orang yaitu Negeri Sakura  dan Malaysia. Berdasarkan dari pengalaman tersebut, banyak yang menjadi pengamatan saya sebagai Urban Design. Pengalaman tersebut, bagi saya sangatlah berharga. Saya rasakan, mengunjungi suatu negara sebagai tourist, visitor, surveyor dan allien resident, memang sangatlah berbeda. Pengalaman yang paling berharga adalah pengalaman sebagai allien resident. Dapat secara langsung merasakan sistem adminstrasi urban berikut fasilitasfasilitasnya dan kebudayaannya.

Pertama kali menjejakkan kaki di Tokyo, dijemput oleh suami tersayang pulang kerumah dengan menggunakan densha (kereta elektrik darat), sudah mulai dapat dirasakan kenyamanan tranportasi publik di negara maju (dengan hati tersenyum-senyum sendiri, bersenandung riang, karena akhirnya dapat merasakan secara nyata Fasilitas Public dari konsep Transit Oriented Development yang selama ini saya pelajari), namun yang paling bahagia adalah berkumpul kembali dengan suami tersayang (setelah proses yang sangat romantis tiada duanya). Namun berhubung tulisan ini adalah tulisan ilmiah urban maka, saya mencoba profesional sedikiit :)

Berpindah dari satu stasiun ke stasiun berikutnya, sehingga tibalah di stasiun tujuan, yaitu Yasaka Eki. Cantiknya pemandangan dari atas Yasaka Eki, hingga saat ini, Yasaka Eki masih merupakan Eki (stasiun kereta) favorit saya baik secara design dan memory yang dimilikinya. Pada saat proses perpindahan stasiun kereta ini, mengingatkan saya pada saat mengerjakan salah satu proyek di kantor. Beginilah arus penumpang dari satu kereta ke kereta lainnya, padat dan mengalir namun teratur dan tertib (semoga tarikan garis di kertas design  pada masa itu merupakan yang terbaik).

Keluar dari stasiun, menyusuri jalan pedestrian cantik, adem, bersih di tepi jalan yang besar namun aman dan teratur. Melewati rusun-rusun Jepang, dengan desain yang menarik hati. Rusun memiliki setback yang cukup jauh dari pedestrian, uniknya lagi, antara rusun dan pedestrian diberi tanaman belukar yang tinggi dan lebat, yaaaannnggg menurut teori urban design yang saya pelajari selama ini, design tersebut sangatlaaaaah tidak aman (pertanyaan pun disimpan dalam hati, yang penting sekarang aman, terutama berada di genggaman pujaan hati yang gagah). Hari-hari berikut, saya lalui untuk mengenal lingkungan sekitar rumah. Ternyata banyak desain ruang publik yang tidak sesuai dengan saya pelajari, sebagai contoh jogging track sepanjang neighborhood kami berada diantara taman dan rel kereta api ataupun, bagian belakang rumah dan rel kereta api. Pertanyaan pun muncul, yang akhirnya saya menemukan jawabannya. Desain-desain tersebut muncul karena di Jepang sudad ada asumsi aman. Jepang merupakan negara maju yang sudah dikategorikan, lingkungannya memiliki lingkungan yang aman dan ekonomi yang sudah stabil dan merata. Teknologi keamanannya sudah tinggi sehingga memiliki resiko kejatahan yang rendah. Saya membayangkan, betapa mengerikannya disain ruang kota Tokyo apabila sertamerta di aplikasikan pada disain ruang kota di Indonesia. Hingga pada akhirnya saya mengambil kesimpulan awal dan sangat sederhana:

"Mendesain sebuah ruang kota di negara maju dan negara berkembang tidak dapat disamakan"

kenapa menurut saya kesimpulan ini sangatlah penting?
selama saya menjalani proses studi Urban Desain bahkan pada saat bekerja, sering kali kami dituntut maupun dituntun untuk mempelajari teori-teori urban desain negara maju yang kemudian kami aplikasikan pada desain kami. Setelah saya mengalami kehidupan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, saya merasakan diperlukan teori desain khusus untuk negara-negara berkembang, disesuaikan dengan kondisi ekonomi, politik dan psikologi masyarakat setempat. Dirasakan, selama ini kurang adanya local sensitive dalam pembelajaran maupun practical urban design.

Beginilah hipotesa ringan ringkas saya...








No comments:

Post a Comment